Hampir sebulan blog ini tak ter-update. Kegiatan offlinesatu bulan terakhir ini cukup menyita waktu, tenaga dan pikiran. Perjalanan antar kota-antar propinsi menjadi menu keseharian yang kadang tak teragendakan.
Ini sama sekali bukan excuse atauapology atas “dakwaan” terjadinya paceklik idea di musim hujan yang penuh badai politik seperti yang dilansir oleh sejumlah kawan blogger. Ambil contoh saja kasus pansus hak angket Century Bank yang makin tak jelas kemana arahnya memperlihatkan adanya upaya-upaya untuk memoderasi kerja-kerja pansus dalam menggali kebenaran yang sesungguhnya.
Aksi-aksi teatrikal permainan praktis forum yang diperagakan pesinetron Ruhut Sitompul seorang legislator dari Fraksi Partai Demokrat secara intensif ditujukan untuk membelokkan arah pembahasan Century Bank dari akar masalah yang sesungguhnya. Setidaknya Ruhut berupaya melakukan buying time agar datelineyang ditargetkan oleh pansus hak angket tak tercapai akibat waktu pembahasan habis diisi oleh caci maki dan debat idiotik yang out of context.
Dan memang harus diakui, secara antagonis Ruhut Sitompul sukses tampil prima mendestruksi proses pansus hak angket Century Bank demi mengamankan kekuasaan SBY dari pemakzulan seperti layaknya tingkah pokal Dursasana membela mati-matian kepentingan Kurawa.
Selain masalah pansus hak angket, fenomena kenaikan harga beras dan gula yang gila-gilaan juga menarik untuk dicermati. Belum genap 100 hari pemerintahan SBY, rakyat sudah harus dihadapkan pada masalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan akibat melambungnya harga beras dengan kenaikan mencapai hampir 1.000 rupiah/kg. Bagi rakyat miskin yang berjumlah +/- 15% dari total penduduk Indonesia, kenaikan sebesar itu tentulah sangat membebani hidup mereka yang memang serba kekurangan.
Para pedagang minuman segar yang biasanya menggunakan gula sebagai bahan utama harus menyiasati melambungnya harga gula dengan menggunakan pemanis buatan seperti halnya aspartam dan siklamat sebagai campuran minuman. Padahal pemanis buatan tersebut ditengarai berbahaya bagi kesehatan manusia khususnya jika dikonsumsi ibu hamil yang bisa mengakibatkan keguguran ataupun cacat permanen pada bayi yang lahir. Selain itu pemanis buatan juga berkontribusi atas terjadinya osteoporosis, obesitas dan hipertensi.
Tidak hanya persoalan-persoalan tersebut diatas, kali ini kaum buruh sekali lagi harus menjadi korban dari kebijakan pemerintah. Keputusan pemerintahan SBY untuk memberlakukan perjanjian Free Trade Area dengan China pada 2010 diselenggarakan tanpa melihat kondisi obyektif kesiapan industri dalam negeri. Serbuan produk-produk China yang berharga miring sudah bisa dipastikan membunuh industri nasional.
Bagaimana mungkin produk-produk industri nasional mampu bersaing baik harga maupun kualitas dengan produk-produk negara lain yang sangat efisien dan didukung oleh kebijakan ekonomi negaranya sedangkan pemerintah Indonesia dengan birokrasinya yang korup lebih suka mempersulit dan mengenakan biaya siluman terhadap para pelaku-pelaku ekonomi dalam negeri.
Hanya karena aksi buruh besar-besaran akhirnya pemerintah bersedia untuk bernegosiasi ulang dengan pemerintah China guna meluaskan jumlah kategori produk yang akan masuk dalam Sensitive Product (SP) dan Highly Sensitive Product(HSP) dalam perjanjian Free Trade Area China-ASEAN yang akan diimplementasi pada kategori produk Normal Track (NT).
Dalam negosiasi tersebut telah disepakati sejumlah 263 produk Indonesia dengan HS Code enam digit dimasukkan dalam kategori NT tahap kedua. Di samping itu, pengurangan jumlah produk Indonesia yang masuk dalam kategori Sensitive Product menjadi 304 pos tarif (6 digit) dari sebelumnya berjumlah 349 pos tarif (6 digit). Produk kategori Highly Sensitive pun mengalami perubahan dari 50 pos tarif (6 digit) menjadi 47 pos tarif (6 digit).
Sekali lagi terbukti bahwa kebijakan politik SBY tak pernah berpihak pada rakyat khususnya kaum buruh. Betapa naifnya kinerja sebuah pemerintahan yang dengan gegabah membuat kebijakan tanpa terlebih dulu melakukan proses pengkajian yang integral komprehensif demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Belum lagi terungkap adanya praktek diskriminasi terhadap narapidana seperti yang terjadi pada Artalyta Suryani yang memperoleh sel mewah dengan fasilitas hotel bintang lima. Lagi-lagi ini memperlihatkan betapa buruknya kinerja penegakan hukum yang dilakukan oleh institusi-institusi penegakan hukum di Indonesia. Menjadi wajar jika kecurangan-kecurangan yang terjadi selama Pileg dan Pilpres 2009 pada akhirnya terligitimasi secara hukum untuk memenangkan SBY dan Partai Demokrat dengan raihan suara yang mutlak.
Ini semua seharusnya memunculkan kesadaran baru bahwa pemerintahanKurawa yang dipimpin oleh Presiden Suyudana SBY telah gagal di awal pemerintahan periode keduanya.
“Masihkah kita harus membiarkan negeri ini makin terpuruk ditangan para pemimpin yang sudah tebukti tidak berpihak pada kepentingan rakyat, bangsa dan negara???”
“Masihkah kita terus membiarkan bangsa ini ditipu oleh pencitraan politik penuh retorika yang menyelubungi praktek-praktek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar